Selasa, 26 November 2019

Etnografi Komunikasi


Etnografi Komunikasi

(Konsep Dasar dan Lanjutan Etnografi Percakapan, Konsep Etnografi Baru, Konsep SPEAKING, dan Konsep PARLANT)



ABSTRAK
Proses penelitian etnografi tidaklah lepas dari teori yang sudah ada. Walaupun pada praktiknya nanti, terutama pada hasil belum tentu teori yang kita gunakan untuk dijadikan acuan akan berubah sesuai dengan realitas yang ada di daerah penelitian etnografi. Beberapa konsep dasar mengenai etnografi komunikasi yang digagas oleh Dell Hymes juga jadi acuan dalam penelitian etnografi. Selain itu, terdapat konsep SPEAKING dan konsep PARLANT.
Kata Kunci: Etnografi Komunikasi, Konsep SPEAKING, Konsep PARLANT

PENDAHULUAN
Hasil penelitian etnografi di Indonesia sangatlah beragam jika dilakukan dengan tekun dan peneliti masuk ke dalah kehidupan masyarakat yang ingin diteliti, khususnya penelitian gejala bahasa yang ada di wilayah Indonesia, baik dari Sabang sampai Merauke. Keberagaman gejala bahasa daerah di wilayah Indonesia, bahkan bahasa yang akan musnah pun dapat di-cover oleh bahasa, dengan cara dilakukan penelitian lalu dicatat setiap temuan dan dijadikan suatu buku pedoman kekhasanahan bahasa daerah di wilayah Indonesia.
Penelitian yang dilakukan tentunya membutuhkan dasar teori mengenai penelitian etnografi yang sudah ada dan yang pernah dilakukan oleh antropolog bahasa di masa lalu. Teori mengenai etnografi komunikasi atau etnografi percakapan dimunculkan pertama kali oleh Dell Hymes. Dell Hymes dianggap oleh banyak orang sebagai pendiri daerah yang dikenal sebagai etnografi komunikasi. Pada tahun 1962 ia mengusulkan "etnografi berbicara" sebagai cara untuk belajar bagaimana orang berbicara. Kemudian nama ini diubah untuk menyertakan cara simbolik lain ekspresi dan disebut etnografi komunikasi. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah teori yang membantu peneliti mempelajari penggunaan bahasa dalam konteks tertentu (pada waktu itu, beberapa peneliti di bidang Linguistik berusaha studi bahasa dengan sendirinya, dihapus dari waktu dan tempat orang berbicara). Hymes berpikir bahwa dengan melihat bagaimana orang-orang benar-benar menggunakan bahasa, pola dapat ditemukan yang lain tidak akan dengan hanya melihat kata-kata sendiri. Muncullah konsep SPEAKING yang digagas oleh Dell Hymes, walau memang terdapat jabaran mengenai komponen tutur ini. lalu, ada pula akronim lebih simpel, yaitu konsep PARLANT.
KONSEP DASAR DAN LANJUTAN ETNOGRAFI PERCAKAPAN
Istilah etnography of speaking  awalnya dimunculkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Istilah ini dikemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat (Gladwin dalam Sumarsono, 2002:310). Etnografi komunikasi ingin mengisi kesenjangan antara para linguis dan pakar sosial dengan menambahkan hal lain (pertuturan/komunikasi) kepada topik-topik garapan antropolog bagi pemerian etnografis mereka, dan mengembangkan garapan linguistik sehingga kajian tentang struktur abstrak, sintaksis, fonologi, dan semantik hanya akan menjadi satu komponen linguistik (Sumarsono&Paina, 2002:311).
Penggunaan bahasa di seluruh budaya sebenarnya sangat bervariasi. Budaya yang berbeda sering memaksakan konvensi yang sangat berbeda untuk penggunaan dan bentuk bahasa dalam situasi sosial yang sebanding. Dell Hymes menyatakan “ kita harus tahu pola-pola apa yang ada pada konteks apa dan bagaimana, di mana, dan kapan pola-pola tersebut muncul ( Titscher, 2009:151). Ini merupakan konsep dasar dari entografi komunikasi. Konsep ini ingin menggambarkan pola-pola komunikasi yang ada dalam masyarakat dan budaya tertentu. Setiap daerah memiliki keragaman budaya dan bahasa. Etnografi komunikasi mengkaji keragaman ini memberikan gambaran pola-pola komunikasi yang ada. 
Etnografi komunikasi adalah sebuah ancangan terhadap wacana yang berdasarkan  antropologi dan linguistik. Ancangan ini tidak hanya fokus pada seperangkat perilaku komunikatif, namun dalam ancangan ini terdapat teori hingga metodologi yang terbuka untuk menemukan varietas bentuk dan fungsi yang ada dalam komunikasi. Menurut Dell Hymes etnografi komunikasi bukan merupakan suatu ancangan yang hanya dapat memisahkan hasil-hasil dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, seperti yang ada, serta berusaha mengorelasikannya (Schiffrin, 2007:184). Etnografi komunikasi merupakan suatu ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis yang baru (dengan menemukan jenis data dan permasalahan baru) dan mengajukan teori-teori yang baru.  
"Ethnography of communication" implies two characteristics that an adequate approach to the problems of language which engage anthropologists must have.  Firstly, such an approach cannot simply take separate results from linguistics, psychology, sociology, ethnology, as given, and seek to correlate them, however partially useful such work is. It must call attention to the need for fresh kinds of data, to the need to investigate directly the use of language in contexts of situation so as to discern patterns proper to speech activity, patterns which escape separate studies of grammar, of personality, of religion, of kinship and the like, each abstracting from the patterning of speech activity as such into some other frame of reference. Secondly, such an approach cannot take linguistic form, a given code, or speech itself, as frame of reference. It must take as context a community, investigating its communicative habits as a whole, so that any given use of channel and code takes its place as but part of the resources upon which the members of the community draw. (Hymes: 3)
Pada kutipan di atas dikatakan bahwa "Etnografi komunikasi" menyiratkan dua karakteristik pendekatan yang memadai untuk masalah bahasa yang dimiliki oleh antropolog. Pertama, pendekatan semacam itu tidak bisa hanya mengambil hasil terpisah dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, seperti yang diberikan, dan berusaha untuk menghubungkan mereka, walaupun begitu sebagian pekerjaan itu berguna. Hal ini memerlukan perhatian pada kebutuhan jenis data yang baru, kebutuhan untuk menyelidiki secara langsung penggunaan bahasa dalam konteks situasi sehingga dapat membedakan pola yang tepat untuk kegiatan pidato, pola studi yang terpisah dari tata bahasa, kepribadian, agama, kekerabatan dan sejenisnya. Kedua, pendekatan semacam itu tidak dapat mengambil bentuk bahasa, kode yang diberikan, atau pidato itu sendiri, sebagai kerangka acuan. Hal itu memerlukan konteks komunitas, menyelidiki kebiasaan komunikatif sebagai satu keseluruhan, sehingga setiap penggunaan alur dan kode tertentu berlangsung semestinya tetapi menjadi bagian dari sumber daya yang menjadi anggota masyarakat.
Hymes juga mengatakan bahwa studi tentang bahasa harus perhatian pada bahasa itu sendiri dengan menggambarkan dan menganalisis kemampuan dari penutur asli yang menggunakan bahasa untuk komunikasi dalam situasi nyata (kompetensi komunikatif) daripada membatasi diri untuk menggambarkan kemampuan potensial dari pembicara yang ideal / pendengar untuk menghasilkan kalimat tata bahasa yang benar (linguistik kompetensi). Penutur bahasa di masyarakat tertentu dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang tidak hanya benar, tetapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya. Kemampuan ini melibatkan pengetahuan bersama dari kode linguistik serta dari aturan sosial budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang memandu perilaku dan interpretasi berbicara dan saluran komunikasi lainnya dalam suatu komunitas . Etnografi komunikasi berkaitan dengan pertanyaan tentang apa yang orang ketahui tentang pola yang tepat dalam penggunaan bahasa di masyarakatnya dan bagaimana dia mempelajarinya (Farah, 1998 and Johnstone and Marcellino, 2010).


Konsep-konsep Dasar
a.       Tata Cara Bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan dan peristiwa komunikasi di dalam guyup dan memiliki pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu pada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap, di lain pihak. Tata cara bertutut itu berbeda dari kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Masalahnya ialah bagaimana kita menentukan kelompok masyarakat itu untuk tujuan pemerian etnografis (Sumarsono&Paina, 2002:313, 315).
b.      Guyup Tutur
Hymes mengemukakan, semua guyup tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting ada persamaan kiadah wicara. Troike juga menyebutkan adanya guyup tutur yang tumpang tindih (Sumarsono&Paina, 2002: 315).
Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa guyup tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturnya, dengan menyesuaikan diri dengan guyup yang melibatkan tuturnya, dengan menambah, mengurangi, dan mengganti kaidah perilaku komunikatif. Batasan sederhana tentang guyup tutur di kemukakan oleh John Lyons, speech community is all the people who use a given language (guyup tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu). Menurut batasan ini, guyup tutur-guyup tutur saja tumpang tindih (jika ada para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan kultural. Jelasnya, mungkin saja kita membatasi guyup tutur jika kita dapat membatasi bahasa dan dialek (Sumarsono&Paina, 2002:316).
Bloomfield (dalam Sumarsono&Paina, 2002:317) menekankan batasan bukan pada bahasa melainkan pada komunikasi: “A speech community is a group of people who interact by means of speech” (guyup tutur adalah sekelompok orang yang berinteraksi dengan memakai tutur). Adapun William Labov (dalam Sumarsono&Paina, 2002:318) lebih menekankan pada sikap yang sama terhadap bahasa daripada perilaku bahasa. “Guyup tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipai penutur dalam seperangkat norma bahasa; norma ini bisa diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasi yang abstrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu”.
Hymes melihat guyup tutur sebagai kelompok orang yang merasa dirinya menjadi guyup yang satu. Hymes juga menjelaskan, guyup tutur adalah guyup yang memiliki pengetahuan bersama tentang kaidah tutur, baik dalam bertutur maupun dalam menginterpretasikannya. Pengetahuan bersama itu mengandung pengetahuan sedikitnya suatu bentuk tutur dan pengetahuan tentang pola penggunaannya (Sumarsono&Paina, 2002:319).
c.       Situasi, Perilaku, dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji perilaku komunikatif di dalam guyup tutur, kita perlu bekerja dengan satuan-satuan interaksi. Hymes mengemukakan tiga satuan berjenjang, dari yang besar ke yang terkecil. Yang pertama adalah situasi tutur (speech situation), kedua peristiwa tutur (speech event), dan ketiga tindak tutur (speech act). Tindak tutur adalah bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur adalah bagian dari situasi tutur. Hymes menggambarkan situasi tutur itu sebagai “situasi yang dikaitkan dengan (atau ditandai dengan tiadanya) tutur”. Konteks situasi contohnya adalah upacara, peperangan, perburuan, makan-makan, dan memadu cinta. Situasi tutur itu tidaklah murni komunikatif: situasi itu mungkin terdiri dari peristiwa yang komunikatif dan peristiwa yang lain. Situasi tutur bukanlah kajian atau masalah kaidah wicara, tetapi dapat diacu oleh kaidah wicara sebagai konteks.
i.                    Tidak Tutur menurut Austin
Austin memberikan sumbangan teori mengenai tindak tutur. Tindak tutur dibagi oleh Austin menjadi tiga, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah makna dasar dan referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu; daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaannya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian, dsb. Jadi, dalam hal tertentu, daya ilokusi merupakan fungsi tindak tutur yang inheren (padu) dalam tutur (Sumarsono&Paina, 2002:323). Adapun daya perlokusi adalah hasil atau efek ujaran terhadap pendengarnya, baik yang nyata maupun yang diharapkan (Sumarsono&Paina, 2002:323).
ii.                  Komponen Tutur
Seorang etnograf yang hendak menganalisis etnografi wicara tidak cukup hanya mengetahui situasi, peristiwa, dan tindak tutur, tetapi juga komponen tutur. Sekarang kita dapat mengatakan bahwa sosiolinguistik mikro itu hakikatnya serupa dengan etnografi komunikasi atau etnografi wicara, setidak-tidaknya jika kita berbicara tentang komponen tutur (komponen tindak tutur). Menuru Hymes, ada 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Sumarsono&Paina, 2002:325).
(1)   Bentuk pesan (message form)
Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur. Bentuk pesan menyangkut cara bagaimana suatu topik dikatakan atau diberitakan.
(2)   Isi pesan (message content)
Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik.


(3)   Latar (setting)
Latar mengacu pada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu pada keadaan fisik.
(4)   Suasana (scene)
Suasana mengacu pada latar psikologis, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu.
(5)   Penutur (speaker, sender)
(6)   Pengirim (addressor)
Contohnya adalah wayang yang dimainkan saat pewayangan.
(7)   Pendengar (hearer, receiver, audience)
(8)   Penerima (addressee)
Contohnya adalah dialog dalam pewayangan yang diutarakan oleh dalang.
(9)   Maksud-hasil (purpose-outcome)
Misalnya adalah untuk perjanjina perkawinan, perdagangan, kerja gotong royong, undangan ke pesta, atau membuat perdamaian setelah pembunuhan.
(10)           Maksud-tujuan (purpose-goal)
Hymes menyebut maksud-hasil dengan maksud-tujuan dengan end. Menurut dia, tujuan suatu peristiwa dari sudut pandang guyup tidak perlu serupa dengan tujuan mereka yang berkaitan dengan guyup itu.
(11)           Kunci (key)
Kunci mengacu pada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan. Penandaan kunci mungkin dengan nonverbal, misalnya, kedipan mata, gerak tangan, gaya tubuh, gaya berpakaian. Namun, dengan pemanjangan vokal pada suatu kata dapat menunjukkan ekspresif suatu tuturan.
(12)           Saluran (channel)
Saluran mengacu pada medium penyampaian tutur: lisan, tulis, telegram, telepon.
(13)           Bentuk tutur (form of speech)
Hymes mengemukakan bentuk tutur lebih mengarah pada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek, dan varietas yang dipakai secara luas.
(14)           Norma interaksi (norm of interaction)
Perilaku khas dan sopan santun tutur yang mengikat saat berlaku tutur dalam guyup. Misalnya orang tidak boleh menyela percakapan.
(15)           Norma interpretasi (norm of interpretation)
Norma interpretasi saat bertutur di setiap daerah pasti berbeda. Contohnya di Jawa, kerut dahi, sinar atau sorot mata, senyuman, nada suara adalah sebagian dari tanda atau sasmita yang patut dipelajari. Dari sasmita ini, anak dapat menentukan kapan saat yang tepat untuk mengajukan permohonan, meminta izin, dsb kepada orang tuanya.

(16)           Genre
Richards dkk (dalam Sumarsono&Paina, 2002:333) mengemukakan, di dalam analisis wacana, genre adalah sekelompok peristiwa tutur yang oleh guyup tutur dianggap mempunyai tipe yang sama, sebagai contoh: doa, khobah, cakapan, nyanyian, pidato, puisi, surat, dan novel.

KONSEP ETNOGRAFI BARU
Etnografi atau ethnography  (James P. Spradley,2007) dalam bahasa Latin  etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Spradley mendefinisikan budaya sebagai system pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar,yang mereka gunakan untuk menginterprestasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.
Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber:
(1) Dari hal yang dikatakan orang;
(2) Dari cara orang bertindak;
(3) Dari berbagai artefak yang digunakan.
Spradley lebih  memfokuskan secara khusus pembuatan kesimpulan dari apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografi dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati. Pemikiran Spradley memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode penelitian etnografi selain memberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Spradley memaparkan bahwa etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi sebagai metode penelitian dalam antropologi melainkan dapat digunakan secara luas pada ranah ilmu yang lain. Dalam buku “Metode Etnografi” James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru, etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi.
Etnografi baru memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian Spardley tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang di wawancara. Tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman penelitian akan studi bahasa juga menjadi sangat penting dalam metode penelitian Spradley. Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian.
Etnografi baru berusaha menemukan “keunikan” dari suatu masyarakat yakni persepsi dan organisasi dari pikiran masyarakat atas fenomena material yang ada di sekeling dan fenomena material diorganisasikan dalm pikiran (mind). Atas dasar pemikiran ini maka, Spradley melukiskan empat tipe analisis etnografi yaitu analisis domain, taksonomi, komponen dan analisis tema serta lima prinsip, yaitu prinsip tunggal, identifikasi tugas, maju bertahap,penelitian orisinal dan problem solving dengan menggunakan metode etnosemantik untuk menemukan 12 langkah pokok yang akan di gunakan dalam wawancara.

KONSEP SPEAKING
S : Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P: Partisipan, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima
E : End (tujuan), mencakup maksud dan hasil
A : Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K : Key (kunci)
I : Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur
N : Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G : Genre (Sumarsono&Paina, 2002:335).
Konsep SPEAKING (Masyarakat Minangkabau)
a.       Tuturan Mendatar
Navis (dalam Aslinda, 2007:39) mengungkapkan bahwa “tuturan mendatar adalah bahasa yang digunakan di antara orang yang status sosialnya sama dan hubungannya akrab”.
b.      Tuturan Menurun
Kato manurun adalah ragam bahasa yang digunakan untuk bertutur kepada orang yang lebih muda, atau yang lebih rendah status sosialnya. Seperti yang diungkapkan Navis, bahwa kato manurun adalah penggunaan bahas oleh orang yang lebih tua dan status sosialnya tinggi kepada penutur yang lebih muda dan status sosialnya rendah (Aslinda, 2007:55).
c.       Tuturan Mendaki
Sesuai dengan pernyataan Navis (Aslinda, 2007:58), bahwa kato mandaki adalah penggunaan bahasa oleh orang yang lebih muda dan status sosialnya rendah kepada orang yang lebih tua dan status sosialnya lebih tinggi.
d.      Tuturan Melereng
Seperti yang diungkapkan Navis (Aslinda, 2007:61), bahwa kato malereng adalah penggunaan bahasa oleh orang-orang yang saling menyegani.
KONSEP PARLANT
P : Participant (partisipan)
A : Actes (tidak)
R : Raison, resultat (maksud, hasil)
L : Locale (lokal)
A : Agents (peranti, perabot)
N : Norms (norma)
T : Types (genre)
(Sumarsono&Paina, 2002:335)

PENUTUP
Etnografi komunikasi adalah ancangan terhadap wacana yang berdasarkan pada antropologi dan linguistik. Ancangan ini tidak hanya berfokus pada seperangkat perilaku komunikatif jika dibandingkan dengan ancangan lainnya. Namun, ancangan ini dibangun mulai teori hingga metodologinya bersifat terbuka untuk menemukan varietas bentuk dan fungsi yang ada dalam komunikasi. Varietas bentuk dan fungsi ini adalah bagian dari kehidupan yang berbeda.
Etnografi komunikasi merupakan suatu ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis yang baru (dengan menemukan jenis data dan permasalahan baru) dan mengajukan teori-teori yang baru. Etnografi komunikasi berusaha untuk melakukan hal tersebut dengan menganalisis pola-pola komunikasi sebagai bagian dalam pengetahuan kultural dan perilaku. Pendapat ini berimplikasi pada pengakuan terhadap adanya keragaman komunikasi dan praktik komunikasi, serta fakta adanya keragaman praktik komunikasi itu merupakan bagian yang terpadu tentang apa yang kita ketahui dan kita lakukan sebagai anggota dari suatu kultur khusus (Schiffrin, 2007:184).

DAFTAR RUJUKAN
Aslinda & Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Cet I. Bandung: Refika.
Hymes, Dell. -. Introduction: Toward Ethnographies of Communication. Berkeley: Universiy of California.
Johnstone, Barbara&William Marcellino. 2010. Dell Hymes and the Ethnography of Communication. Pittsburgh: Carnegie Mellon University.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Ed II. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thitscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAHASA PETUNJUK PEMAKAIAN PRODUK BERDASAR KAJIAN PRAGMATIK MAKSIM KUANTITAS

BAHASA PETUNJUK PEMAKAIAN PRODUK   BERDASAR KAJIAN PRAGMATIK MAKSIM KUANTITAS A.     PENDAHULUAN  Latar Belakang Pragmatik mer...