Etnografi
Komunikasi
(Konsep
Dasar dan Lanjutan Etnografi Percakapan, Konsep Etnografi Baru, Konsep
SPEAKING, dan Konsep PARLANT)
ABSTRAK
Proses penelitian
etnografi tidaklah lepas dari teori yang sudah ada. Walaupun pada praktiknya
nanti, terutama pada hasil belum tentu teori yang kita gunakan untuk dijadikan
acuan akan berubah sesuai dengan realitas yang ada di daerah penelitian
etnografi. Beberapa konsep dasar mengenai etnografi komunikasi yang digagas
oleh Dell Hymes juga jadi acuan dalam penelitian etnografi. Selain itu,
terdapat konsep SPEAKING dan konsep PARLANT.
Kata Kunci: Etnografi Komunikasi, Konsep
SPEAKING, Konsep PARLANT
PENDAHULUAN
Hasil
penelitian etnografi di Indonesia sangatlah beragam jika dilakukan dengan tekun
dan peneliti masuk ke dalah kehidupan masyarakat yang ingin diteliti, khususnya
penelitian gejala bahasa yang ada di wilayah Indonesia, baik dari Sabang sampai
Merauke. Keberagaman gejala bahasa daerah di wilayah Indonesia, bahkan bahasa
yang akan musnah pun dapat di-cover oleh bahasa, dengan cara dilakukan
penelitian lalu dicatat setiap temuan dan dijadikan suatu buku pedoman
kekhasanahan bahasa daerah di wilayah Indonesia.
Penelitian
yang dilakukan tentunya membutuhkan dasar teori mengenai penelitian etnografi
yang sudah ada dan yang pernah dilakukan oleh antropolog bahasa di masa lalu.
Teori mengenai etnografi komunikasi atau etnografi percakapan dimunculkan
pertama kali oleh Dell Hymes. Dell Hymes dianggap oleh banyak orang sebagai pendiri
daerah yang dikenal sebagai etnografi komunikasi. Pada tahun 1962 ia
mengusulkan "etnografi berbicara" sebagai cara untuk belajar
bagaimana orang berbicara. Kemudian nama ini diubah untuk menyertakan cara
simbolik lain ekspresi dan disebut etnografi komunikasi. Salah satu tujuannya
adalah untuk menciptakan sebuah teori yang membantu peneliti mempelajari
penggunaan bahasa dalam konteks tertentu (pada waktu itu, beberapa peneliti di
bidang Linguistik berusaha studi bahasa dengan sendirinya, dihapus dari waktu
dan tempat orang berbicara). Hymes berpikir bahwa dengan melihat bagaimana
orang-orang benar-benar menggunakan bahasa, pola dapat ditemukan yang
lain tidak akan dengan hanya melihat kata-kata sendiri. Muncullah konsep
SPEAKING yang digagas oleh Dell Hymes, walau memang terdapat jabaran mengenai komponen
tutur ini. lalu, ada pula akronim lebih simpel, yaitu konsep PARLANT.
KONSEP
DASAR DAN LANJUTAN ETNOGRAFI PERCAKAPAN
Istilah etnography of speaking awalnya dimunculkan oleh seorang pakar
antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Istilah ini
dikemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography
of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat (Gladwin dalam
Sumarsono, 2002:310). Etnografi komunikasi ingin mengisi kesenjangan antara para
linguis dan pakar sosial dengan menambahkan hal lain (pertuturan/komunikasi)
kepada topik-topik garapan antropolog bagi pemerian etnografis mereka, dan
mengembangkan garapan linguistik sehingga kajian tentang struktur abstrak,
sintaksis, fonologi, dan semantik hanya akan menjadi satu komponen linguistik
(Sumarsono&Paina, 2002:311).
Penggunaan bahasa di seluruh
budaya sebenarnya sangat
bervariasi. Budaya yang berbeda sering memaksakan konvensi yang sangat berbeda untuk penggunaan
dan bentuk bahasa
dalam situasi sosial yang sebanding.
Dell Hymes menyatakan “ kita harus tahu pola-pola apa yang ada
pada konteks apa dan bagaimana, di mana, dan kapan pola-pola tersebut muncul (
Titscher, 2009:151). Ini merupakan konsep dasar dari entografi komunikasi.
Konsep ini ingin menggambarkan pola-pola komunikasi yang ada dalam masyarakat
dan budaya tertentu. Setiap daerah memiliki keragaman budaya dan bahasa. Etnografi
komunikasi mengkaji keragaman ini memberikan gambaran pola-pola komunikasi yang
ada.
Etnografi
komunikasi adalah sebuah ancangan terhadap wacana yang berdasarkan antropologi dan linguistik. Ancangan ini tidak
hanya fokus pada seperangkat perilaku komunikatif, namun dalam ancangan ini
terdapat teori hingga metodologi yang terbuka untuk menemukan varietas bentuk
dan fungsi yang ada dalam komunikasi. Menurut Dell Hymes etnografi komunikasi
bukan merupakan suatu ancangan yang hanya dapat memisahkan hasil-hasil dari
linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, seperti yang ada, serta berusaha
mengorelasikannya (Schiffrin, 2007:184). Etnografi komunikasi merupakan suatu
ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis yang baru
(dengan menemukan jenis data dan permasalahan baru) dan mengajukan teori-teori
yang baru.
"Ethnography of communication" implies two
characteristics that an adequate approach to the problems of language which
engage anthropologists must have. Firstly, such an approach cannot simply take
separate results from linguistics, psychology, sociology, ethnology, as given,
and seek to correlate them, however partially useful such work is. It must call
attention to the need for fresh kinds of data, to the need to investigate
directly the use of language in contexts of situation so as to discern patterns
proper to speech activity, patterns which escape separate studies of grammar,
of personality, of religion, of kinship and the like, each abstracting from the
patterning of speech activity as such into some other frame of reference.
Secondly, such an approach cannot take linguistic form, a given code, or speech
itself, as frame of reference. It must take as context a community, investigating
its communicative habits as a whole, so that any given use of channel and code
takes its place as but part of the resources upon which the members of the
community draw. (Hymes: 3)
Pada kutipan di atas dikatakan bahwa "Etnografi
komunikasi" menyiratkan dua karakteristik pendekatan yang memadai untuk
masalah bahasa yang dimiliki oleh antropolog. Pertama, pendekatan semacam itu
tidak bisa hanya mengambil hasil terpisah dari linguistik, psikologi,
sosiologi, etnologi, seperti yang diberikan, dan berusaha untuk menghubungkan
mereka, walaupun begitu sebagian pekerjaan itu berguna. Hal ini memerlukan perhatian
pada kebutuhan jenis data yang baru, kebutuhan untuk menyelidiki secara
langsung penggunaan bahasa dalam konteks situasi sehingga dapat membedakan pola
yang tepat untuk kegiatan pidato, pola studi yang terpisah dari tata bahasa,
kepribadian, agama, kekerabatan dan sejenisnya. Kedua, pendekatan semacam itu
tidak dapat mengambil bentuk bahasa, kode yang diberikan, atau pidato itu
sendiri, sebagai kerangka acuan. Hal itu memerlukan konteks komunitas,
menyelidiki kebiasaan komunikatif sebagai satu keseluruhan, sehingga setiap
penggunaan alur dan kode tertentu berlangsung semestinya tetapi menjadi bagian
dari sumber daya yang menjadi anggota masyarakat.
Hymes juga mengatakan bahwa studi tentang bahasa
harus perhatian pada bahasa itu sendiri dengan menggambarkan dan menganalisis
kemampuan dari penutur asli yang menggunakan bahasa untuk komunikasi dalam
situasi nyata (kompetensi komunikatif) daripada membatasi diri untuk
menggambarkan kemampuan potensial dari pembicara yang ideal / pendengar untuk
menghasilkan kalimat tata bahasa yang benar (linguistik kompetensi). Penutur
bahasa di masyarakat tertentu dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara
yang tidak hanya benar, tetapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya.
Kemampuan ini melibatkan pengetahuan bersama dari kode linguistik serta dari
aturan sosial budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang memandu perilaku dan
interpretasi berbicara dan saluran komunikasi lainnya dalam suatu komunitas . Etnografi
komunikasi berkaitan dengan pertanyaan tentang apa yang orang ketahui tentang pola
yang tepat dalam penggunaan bahasa di masyarakatnya dan bagaimana dia mempelajarinya
(Farah, 1998 and Johnstone and Marcellino, 2010).
Konsep-konsep Dasar
a.
Tata Cara Bertutur
Tata
cara bertutur (ways of speaking)
mengandung gagasan dan peristiwa komunikasi di dalam guyup dan memiliki
pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif seseorang mencakup
pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu pada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan
dan peran seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan
sikap, di lain pihak. Tata cara bertutut itu berbeda dari kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Masalahnya ialah bagaimana kita
menentukan kelompok masyarakat itu untuk tujuan pemerian etnografis
(Sumarsono&Paina, 2002:313, 315).
b.
Guyup Tutur
Hymes
mengemukakan, semua guyup tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah wicara
yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville Troike
menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting ada persamaan kiadah wicara. Troike juga menyebutkan
adanya guyup tutur yang tumpang tindih (Sumarsono&Paina,
2002: 315).
Orang
biasanya menjadi anggota dari beberapa guyup tutur pada saat yang sama. Orang
akan mengubah perilaku tuturnya, dengan menyesuaikan diri dengan guyup yang
melibatkan tuturnya, dengan menambah, mengurangi, dan mengganti kaidah perilaku
komunikatif. Batasan sederhana tentang guyup tutur di kemukakan oleh John
Lyons, speech community is all the people
who use a given language (guyup tutur adalah semua orang yang memakai suatu
bahasa atau dialek tertentu). Menurut batasan ini, guyup tutur-guyup tutur saja
tumpang tindih (jika ada para
dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan kultural. Jelasnya, mungkin saja kita
membatasi guyup tutur jika kita dapat membatasi bahasa dan dialek
(Sumarsono&Paina, 2002:316).
Bloomfield
(dalam Sumarsono&Paina, 2002:317) menekankan batasan bukan pada bahasa
melainkan pada komunikasi: “A speech
community is a group of people who interact by means of speech” (guyup
tutur adalah sekelompok orang yang berinteraksi dengan memakai tutur). Adapun
William Labov (dalam Sumarsono&Paina, 2002:318) lebih menekankan pada sikap yang sama terhadap bahasa daripada
perilaku bahasa. “Guyup tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas
dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipai
penutur dalam seperangkat norma bahasa; norma ini bisa diamati pada perilaku
evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasi yang abstrak
yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu”.
Hymes
melihat guyup tutur sebagai kelompok orang yang merasa dirinya menjadi guyup yang satu. Hymes juga menjelaskan,
guyup tutur adalah guyup yang memiliki pengetahuan bersama tentang kaidah
tutur, baik dalam bertutur maupun dalam menginterpretasikannya. Pengetahuan bersama
itu mengandung pengetahuan sedikitnya suatu bentuk tutur dan pengetahuan
tentang pola penggunaannya (Sumarsono&Paina, 2002:319).
c.
Situasi, Perilaku, dan Tindak Tutur
Untuk
mengkaji perilaku komunikatif di dalam guyup tutur, kita perlu bekerja dengan
satuan-satuan interaksi. Hymes mengemukakan tiga satuan berjenjang, dari yang
besar ke yang terkecil. Yang pertama adalah situasi tutur (speech situation), kedua peristiwa tutur (speech event), dan ketiga tindak tutur (speech act). Tindak tutur adalah bagian dari peristiwa tutur, dan
peristiwa tutur adalah bagian dari situasi tutur. Hymes menggambarkan situasi
tutur itu sebagai “situasi yang dikaitkan dengan (atau ditandai dengan
tiadanya) tutur”. Konteks situasi contohnya adalah upacara, peperangan, perburuan,
makan-makan, dan memadu cinta. Situasi tutur itu tidaklah murni komunikatif:
situasi itu mungkin terdiri dari peristiwa yang komunikatif dan peristiwa yang
lain. Situasi tutur bukanlah kajian atau masalah kaidah wicara, tetapi dapat
diacu oleh kaidah wicara sebagai konteks.
i.
Tidak Tutur menurut Austin
Austin memberikan sumbangan teori
mengenai tindak tutur. Tindak tutur dibagi oleh Austin menjadi tiga, yaitu
lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah makna dasar dan referensi (makna
yang diacu) oleh ujaran itu; daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh
penggunaannya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian, dsb. Jadi,
dalam hal tertentu, daya ilokusi merupakan fungsi tindak tutur yang inheren
(padu) dalam tutur (Sumarsono&Paina, 2002:323). Adapun daya perlokusi
adalah hasil atau efek ujaran terhadap pendengarnya, baik yang nyata maupun
yang diharapkan (Sumarsono&Paina, 2002:323).
ii.
Komponen Tutur
Seorang etnograf yang hendak
menganalisis etnografi wicara tidak cukup hanya mengetahui situasi, peristiwa,
dan tindak tutur, tetapi juga komponen tutur. Sekarang kita dapat mengatakan
bahwa sosiolinguistik mikro itu hakikatnya serupa dengan etnografi komunikasi
atau etnografi wicara, setidak-tidaknya jika kita berbicara tentang komponen
tutur (komponen tindak tutur). Menuru Hymes, ada 16 komponen tutur yang dapat
dijelaskan sebagai berikut (Sumarsono&Paina, 2002:325).
(1) Bentuk
pesan (message form)
Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar
dan merupakan salah satu pusat tindak tutur. Bentuk pesan menyangkut cara
bagaimana suatu topik dikatakan atau diberitakan.
(2) Isi
pesan (message content)
Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa
yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik.
(3) Latar
(setting)
Latar mengacu pada waktu dan tempat
terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu pada keadaan fisik.
(4) Suasana
(scene)
Suasana mengacu pada latar psikologis,
atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana
tertentu.
(5) Penutur
(speaker, sender)
(6) Pengirim
(addressor)
Contohnya adalah wayang yang dimainkan
saat pewayangan.
(7) Pendengar
(hearer, receiver, audience)
(8) Penerima
(addressee)
Contohnya adalah dialog dalam pewayangan
yang diutarakan oleh dalang.
(9) Maksud-hasil
(purpose-outcome)
Misalnya adalah untuk perjanjina
perkawinan, perdagangan, kerja gotong royong, undangan ke pesta, atau membuat
perdamaian setelah pembunuhan.
(10)
Maksud-tujuan (purpose-goal)
Hymes menyebut maksud-hasil dengan
maksud-tujuan dengan end. Menurut
dia, tujuan suatu peristiwa dari sudut pandang guyup tidak perlu serupa dengan
tujuan mereka yang berkaitan dengan guyup itu.
(11)
Kunci (key)
Kunci mengacu pada cara, nada, atau jiwa
(semangat) tindak tutur dilakukan. Penandaan kunci mungkin dengan nonverbal,
misalnya, kedipan mata, gerak tangan, gaya tubuh, gaya berpakaian. Namun, dengan
pemanjangan vokal pada suatu kata dapat menunjukkan ekspresif suatu tuturan.
(12)
Saluran (channel)
Saluran mengacu pada medium penyampaian
tutur: lisan, tulis, telegram, telepon.
(13)
Bentuk tutur (form of speech)
Hymes mengemukakan bentuk tutur lebih
mengarah pada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek, dan
varietas yang dipakai secara luas.
(14)
Norma interaksi (norm of interaction)
Perilaku khas dan sopan santun tutur
yang mengikat saat berlaku tutur dalam guyup. Misalnya orang tidak boleh
menyela percakapan.
(15)
Norma interpretasi (norm of interpretation)
Norma interpretasi saat bertutur di
setiap daerah pasti berbeda. Contohnya di Jawa, kerut dahi, sinar atau sorot
mata, senyuman, nada suara adalah sebagian dari tanda atau sasmita yang patut
dipelajari. Dari sasmita ini, anak dapat menentukan kapan saat yang tepat untuk
mengajukan permohonan, meminta izin, dsb kepada orang tuanya.
(16)
Genre
Richards dkk (dalam Sumarsono&Paina,
2002:333) mengemukakan, di dalam analisis wacana, genre adalah sekelompok peristiwa
tutur yang oleh guyup tutur dianggap mempunyai tipe yang sama, sebagai contoh:
doa, khobah, cakapan, nyanyian, pidato, puisi, surat, dan novel.
KONSEP
ETNOGRAFI BARU
Etnografi
atau ethnography (James P.
Spradley,2007) dalam bahasa Latin etnos
berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar sehingga
etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau
bangsa. Spradley mendefinisikan budaya sebagai system pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui proses belajar,yang mereka gunakan untuk
menginterprestasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi
perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.
Dalam melakukan kerja lapangan,
etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber:
(1)
Dari hal yang dikatakan orang;
(2)
Dari cara orang bertindak;
(3)
Dari berbagai artefak yang digunakan.
Spradley lebih memfokuskan secara khusus pembuatan kesimpulan
dari apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografi dianggap lebih mampu
menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati. Pemikiran Spradley
memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode penelitian etnografi
selain memberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Spradley memaparkan bahwa
etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi sebagai metode penelitian dalam
antropologi melainkan dapat digunakan secara luas pada ranah ilmu yang lain.
Dalam
buku “Metode Etnografi” James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula
sampai pada bentuk etnografi baru, etnografi mula-mula dilakukan untuk
membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia
mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Kemudian dia sendiri
juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi
yang disebutnya sebagai etnografi.
Etnografi baru memusatkan usahanya untuk
menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran
mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis
dalam penelitian Spardley tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi
peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang di
wawancara. Tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi
pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman penelitian akan studi bahasa juga
menjadi sangat penting dalam metode penelitian Spradley. Pengumpulan riwayat
hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam
proses penelitian.
Etnografi baru berusaha menemukan
“keunikan” dari suatu masyarakat yakni persepsi dan organisasi dari pikiran
masyarakat atas fenomena material yang ada di sekeling dan fenomena material
diorganisasikan dalm pikiran (mind). Atas dasar pemikiran ini maka, Spradley
melukiskan empat tipe analisis etnografi yaitu analisis domain, taksonomi, komponen
dan analisis tema serta lima prinsip, yaitu prinsip tunggal, identifikasi
tugas, maju bertahap,penelitian orisinal dan problem solving dengan menggunakan metode etnosemantik untuk
menemukan 12 langkah pokok yang akan di gunakan dalam wawancara.
KONSEP
SPEAKING
S : Situasi (act
situation), mencakup latar dan suasana
P: Partisipan, mencakup penutur, pengirim,
pendengar, dan penerima
E : End (tujuan),
mencakup maksud dan hasil
A : Act
sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K : Key (kunci)
I : Instrumentalities
(peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur
N : Norms (norma),
mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G : Genre (Sumarsono&Paina,
2002:335).
Konsep
SPEAKING (Masyarakat Minangkabau)
a.
Tuturan Mendatar
Navis
(dalam Aslinda, 2007:39) mengungkapkan bahwa “tuturan mendatar adalah bahasa
yang digunakan di antara orang yang status sosialnya sama dan hubungannya
akrab”.
b.
Tuturan Menurun
Kato
manurun adalah ragam bahasa yang digunakan untuk bertutur kepada orang yang
lebih muda, atau yang lebih rendah status sosialnya. Seperti yang diungkapkan
Navis, bahwa kato manurun adalah penggunaan bahas oleh orang yang lebih tua dan
status sosialnya tinggi kepada penutur yang lebih muda dan status sosialnya
rendah (Aslinda, 2007:55).
c.
Tuturan Mendaki
Sesuai
dengan pernyataan Navis (Aslinda, 2007:58), bahwa kato mandaki adalah
penggunaan bahasa oleh orang yang lebih muda dan status sosialnya rendah kepada
orang yang lebih tua dan status sosialnya lebih tinggi.
d.
Tuturan Melereng
Seperti
yang diungkapkan Navis (Aslinda, 2007:61), bahwa kato malereng adalah
penggunaan bahasa oleh orang-orang yang saling menyegani.
KONSEP
PARLANT
P : Participant
(partisipan)
A : Actes (tidak)
R : Raison,
resultat (maksud, hasil)
L : Locale (lokal)
A : Agents (peranti,
perabot)
N : Norms (norma)
T : Types (genre)
(Sumarsono&Paina, 2002:335)
PENUTUP
Etnografi komunikasi adalah ancangan
terhadap wacana yang berdasarkan pada antropologi dan linguistik. Ancangan ini
tidak hanya berfokus pada seperangkat perilaku komunikatif jika dibandingkan
dengan ancangan lainnya. Namun, ancangan ini dibangun mulai teori hingga
metodologinya bersifat terbuka untuk menemukan varietas bentuk dan fungsi yang
ada dalam komunikasi. Varietas bentuk dan fungsi ini adalah bagian dari
kehidupan yang berbeda.
Etnografi komunikasi merupakan suatu
ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis yang baru
(dengan menemukan jenis data dan permasalahan baru) dan mengajukan teori-teori
yang baru. Etnografi komunikasi berusaha untuk melakukan hal tersebut dengan
menganalisis pola-pola komunikasi sebagai bagian dalam pengetahuan kultural dan
perilaku. Pendapat ini berimplikasi pada pengakuan terhadap adanya keragaman
komunikasi dan praktik komunikasi, serta fakta adanya keragaman praktik
komunikasi itu merupakan bagian yang terpadu tentang apa yang kita ketahui dan
kita lakukan sebagai anggota dari suatu kultur khusus (Schiffrin, 2007:184).
DAFTAR
RUJUKAN
Aslinda & Leni
Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik.
Cet I. Bandung: Refika.
Hymes,
Dell. -. Introduction: Toward
Ethnographies of Communication. Berkeley: Universiy of California.
Johnstone,
Barbara&William Marcellino. 2010. Dell
Hymes and the Ethnography of Communication. Pittsburgh: Carnegie Mellon
University.
Schiffrin, Deborah.
2007. Ancangan Kajian Wacana.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spradley, James P. 2007.
Metode Etnografi. Ed II. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Sumarsono dan Paina
Partana. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thitscher,
Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks
dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar