TRADISI
BOASIAN, RELATIVITAS BAHASA, DAN KONTEKS
Abstrak
Tradisi
Boasian diprakarsai oleh Frans Boas dalam bidang antropologi linguistik. Tradisi
ini kerap diasosiasikan dengan prinsip
relativitas linguistik, yaitu ide yang berkaitan dengan perbedaan kerangka
lingustik yang dimiliki oleh penutur dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk
merujuk pada referen-referen yang ada dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek prinsip gramatikal dalam setiap
bahasa. Relativitas bahasa pun mengacu pada latar
yang disebut konteks. Para filsuf mendeskripsikan konteks sebagai aspek yang
berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial suatu tuturan.
Konteks dipandang sebagai pengetahuan mengenai latar belakang yang dimiliki
oleh penutur dan mitra tutur, yakni konteks situasi, konteks
kultural, dan konteks sosial-sosietal.
Kata Kunci : Tradisi, Boasian, Relativitas
Bahasa, dan Konteks
PENDAHULUAN
Relativitas bahasa (linguistic
relativity) merupakan suatu ide atau pandangan yang berkaitan dengan
perbedaan bahasa yang dimiliki oleh para penutur bahasa yang merujuk pada pengalaman
hidup sehari-hari. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari struktur dan sistem
gramatikal yang berbeda dalam setiap bahasa. Hal ini berarti konsep relativitas
bahasa bukan merupakan ide baru dalam bidang linguistik. Bahkan, zaman sekarang
relativitas bahasa mendapat perhatian dalam bidang sosiolinguistik, pragmatik,
dan terutama antropolinguistik.
Relativitas bahasa berawal dari pemikiran para para ahli
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Eropa. Misalnya, Wilhelm von Humboldt (1767-1835) yang sering
dirujuk sebagai bapak relativitas bahasa berpendapat bahwa adanya hubungan erat antara masyarakat, bahasa,
dan budaya, sehingga pada tahap ideal, hubungan tersebut dipandang sebagai
tritunggal, yaitu satu masyarakat, satu bahasa, dan satu budaya (Gumperz, 1996: 362). Humboldt memandang bahasa sebagai
alat berpikir, sekaligus berpengaruh terhadap pola pikir setiap orang, sehingga
berdampak pada konsep bahwa setiap bahasa itu berbeda dengan bahasa lainnya.
Hal ini berarti Humboldt menghadirkan kata kunci sebagai titik pijak pemikirannya,
yaitu pikiran dan bahasa. Ia ingin menegaskan bahwa sturktur suatu bahasa
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pola pikir seseorang dan setiap bahasa
memiliki pandangan yang khas. Secara umum Humboldt memandang bahwa manusia selalu
berhadapan dengan realitas kehidupan di luar dirinya. Namun, realitas itu hadir
dan muncul dalam pikirannya melalui medium bahasa yang khas. Karena itu,
pandangan seseorang dan masyarakat ditentukan oleh bahasa pertama mereka (Slobin
1996: 70). Dengan
demikian, pandangan Humboldt mengenai relativitas bahasa, yakni secara mutlak pola pikir
penuturnya menentukan suatu bahasa.
Pembicaraan
tentang relativitas bahas, tidak bisa dilepaspisahkan dengan tradisi Boasian (Boasian Tradition). Tradisi ini lahir
di Amerika Serikat, setelah Franz Boas (1858-1942) melakukan penelitian atas bahasa
Indian-Amerika dan melahirkan konsep linguistik deskriptif. Awalnya, Boas
menekuni ilmu fisika dan geografi. Namun, ia tertarik dengan antropologi,
sehingga penelitiannya tentang bahasa diwarnai dengan pendekatan antropologi.
Dengan demikian, Boas selalu melihat hubungan yang erat antara bahasa dan
budaya. Hal ini tentu berbeda dengan de Saussure yang menganalisis bahasa
Perancis dan bahasa-bahasa eropa lainnya hingga berhasil membangun teori
linguistik dengan abstraksi tinggi. Sementara itu, Boas bergelut dengan bahasa-bahasa
Indian yang eksotik dan tidak dikenal untuk menghasilkan deskripsi yang tuntas.
Hal ini berarti setiap bahasa memiliki deskripsi yang khas, karena setiap
bahasa memiliki struktur yang unik. Perjuangan Boas mengenai bahasa ini di
tegaskan oleh Sampson (1980: 59), demikian:
A
characteristic of the school
founded by Boas was its
relativism. There was no ideal type of language, to which actual languages
approximated more or less closely;
human languages were endelessly diverse.
Artinya,
Boas ingin menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang memiliki tipe ideal, yang
dapat dijadikan model bagi bahasa-bahasa alamiah yang ada. Hasil deskripsi atas
data lapangannya, Boas ingin menunjukkan bahwa bahasa-bahasa masyarakat
Indian-Amerika sangat berbeda satu sama lain. Artinya, relativitas bahasa
begitu mutlak hadir, sehingga tidak ada ruang bagi universalitas bahasa. Hal
yang penting dari pemikiran Boas bahwa bahasa bukan sarana untuk membangun
teori linguistik. Sebaliknya, deskripsinya mengenai bahasa merupakan tujuan
akhir dari analisis sebuah bahasa, meskipun sangat mungkin ia merupakan langkah
awal untuk memahami budaya suatu masyarakat secara mendalam.
Artinya,
selain bahasa mengalami pergeseran atau perubahan akibat perkembangan zaman,
perkembangan pola pikir dan budaya yang beraneka ragam sangat mempengaruhi
keberadaan bahasa. Zaman dahulu, orang-rang primitif hanya memiliki satu nama
pada suatu benda atau obyek dan hanya digunakan oleh kalangan mereka, tanpa
dipengaruhi atau menjadi pembela di luar wilayah mereka. Namun, perkembangan
zaman menghadirkan berbagai fenomena yang biasa terjadi pada masyarakat sosial.
Fenomena kesalahpahaman dalam berkomunikasi menjadi akibat dari kesalahan
penafsiran terhadap suatu bahasa. Oleh sebab itu, konsep mengenai konteks perlu
dipahami oleh setiap orang lebih mendalam.
RELATIVITAS BAHASA DAN TRADISI
BOASIAN
Tradisi Boas dalam antropolinguisti
kerap diasosiasikan dengan prinsip relativitas linguistik; suatu ide yang
berkenaan dengan perbedaan kerangka lingustik yang dimiliki oleh para penutur
bahasa dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk merujuk pada referen-referen dalam
pengalaman hidup sehari-hari. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari struktur
dan sistem kategori gramatikal yang berbeda pula dalam setiap bahasa.
Pemikiran Franz Boas sangat
dipengaruhi oleh para pelopor relativisme dari Jerman. Salah satu pemikir yang
memengaruhi pemikiran Boas adalah Johann Herder. Herder percaya bahwa relasi
antara kognisi (pikiran) dan bahasa, bersifat saling bergantung dan mutlak. Kognisi
manusia terbatas dan termediasi oleh bahasanya. Selanjutnya, Herder menyatakan
bahwa pengalaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari berbeda dengan realitas
bahasa yang mewakili pengalaman dan pemahaman tersebut. Dengan kata lain,
setiap bahasa dan budaya merefleksikan dunia dengan cara tertentu, yang berbeda
antara satu bahasa dengan bahasa lainnya (Foley, 1997: 193).
Pemikiran Herder dikembangkan oleh
Wilhem von Humboldt, yang menggabungkan prinsip kesemestaan dan relativisme.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah kerangka kognisi, yang
menimbulkan pengaturan keseluruhan sensasi yang dihadirkan ke dalam indera
manusia. Sama seperti Herder, Humboldt percaya bahwa kualitas mental suatu
masyarakat dan budayanya menentukan bahasanya. Oleh karena itu, bahasa
menentukan cara berpikir suatu masyarakat dan juga cara mereka untuk
mengekspresikan realitas. Walaupun demikian, Humbold juga meyakini bahwa semua
bahasa mempunyai kesemestaan properti. Artinya, setiap bahasa pasti memiliki
nosi-nosi gramatikal yang sifatnya universal, seperti kelas kata, kasus,
modalitas, dst. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, apabila suatu bahasa
memiliki keterbatasan dalam fitur-fitur tersebut di atas, bahasa itu
tentu akan memilki cara untuk memasukkan konsep yang sifatnya universal itu ke
dalam struktur gramatikalnya. Dengan demikian, setiap bahasa hanya dapat
mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada
(istilah Humboldt untuk hal ini adalah Versuch) (Foley, 1997: 194).
Sementara itu, Boas menitikberatkan penelitiannya
mengenai fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman manusia, khususnya
fungsi pengklasifikasian. Hal ini dikarenakan pengalaman individual manusia
bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem dan kategori
gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas tadi harus dapat
tercakup dalam setiap bahasa. Tentu, klasifikasi tersebut sangat bervariasi
dalam setiap bahasa. Misalnya, verba konsumsi dalam bahasa Inggris dapat
diklasifikasikan dalam berbagai leksem, seperti eat ‘makan’, drink ‘minum’,
dan smoke ‘merokok’, sedangkan dalam bahasa Yimas, ketiga leksem tadi
hanya diwakili oleh root atau akar am-. dari contoh di atas
dapat dilihat bahwa Boas menekankan studinya pada keberagaman kategori
gramatikal lintas bahasa, terutama dengan cara mengontraskan kategori
gramatikal bahasa. Contoh lain yang dapat dilihat adalah perbedaan yang
terdapat di antara bahasa Inggris dan bahasa asli Amerika, Kwak’wala. Kategori
gramatikal yang umum digunakan dalam bahasa Inggris adalah katakrifan,
bilangan, kala, dan lain-lain. Kategori tersebut berbeda dengan bahasa
Kwak’wala yang menggunakan visibilitas dan deiksis. Melalui pengontrasan bahasa
seperti tadi, Boas mengembangkan pemikiran Humboldt, yaitu versuch, yang
berkenaan dengan sifat bahasa yang hanya dapat mengekspresikan sebagian dari
keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada (Foley, 1997: 194). Variasi
linguistik, seperti yang dapat dilihat pada contoh, menandakan bahwa setiap
bahasa memiliki tendensi untuk memilih hanya beberapa konsep, yang sifatnya
individual, dari keseluruhan konsep untuk diekspresikan melalui
elemen-elemennya. Dengan kata lain, relasi antara bahasa dan pikiran bersifat
searah; kategori linguistik dapat mengekspresikan (paling tidak sebagian)
pemikiran, tapi tidak berlaku sebaliknya, kategori linguistik tidak menentukan
pemikiran.
Lebih lanjut, Boas meyakini bahwa
ukuran kemampuan individual manusia tidak beragam sifatnya di seluruh dunia.
Perbedaan-perbedaan kategori linguistik antarbahasa, yang bisa terlihat jelas,
tidak merefleksikan perbedaan kognisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat
penuturnya, melainkan hanya refleksi dari perbedaan budaya yang dimiliki oleh
masyarakatnya. Agar lebih jelas, kita dapat melihat fenomena yang terjadi dalam
masyarakat Papua, yang hanya memiliki tiga leksem untuk menyatakan tiga
bilangan dasar. Fenomena tersebut tidak merefleksikan hal apapun yang berkaitan
dengan kemampuan kognitif masyarakat Papua. Fenomena tersebut hanya
merefleksikan budaya masyarakat Papua, yang tidak membutuhkan bilangan yang
lebih besar dari tiga untuk menghitung obyek atau benda dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
Bahasa merupakan sarana
pengekspresian pemikiran manusia. Artinya, perbedaan kategori gramatikal yang
dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari perbedaan kultur yang dimiliki
oleh penuturnya. Pemikiran Boas ini secara tidak langsung telah menggugurkan
pemikiran versuch yang diusung Humboldt. Artinya, Boas menolak
pernyataan Humboldt bahwa setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian
dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada; karena keterbatasan kategori
gramatikal tidak menandakan adanya keterbatasan kognisi, tetapi hanya merupakan
refleksi dari keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat bahasa. Hal
yang berkaitan dengan kesemestaan linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah
kesemestaan tersebut hanya merupakan dampak dari kesatuan pandangan manusia
terhadap suatu obyek.
Hal penting lainnya yang dikemukakan
oleh Boas adalah bahwa klasifikasi linguistik yang dilakukan manusia tersebut
merupakan tindakan yang dilakukan secara tidak sadar dan beragam, bergantung
pada budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa. Boas mengaitkan
pernyataan tersebut dengan keragaman table manner antarbudaya. Ia
berpendapat bahwa pada dasarnya terdapat alasan rasional yang terbentuk secara
tidak sadar dalam kebudayaan mengenai kaidah tersebut. Misalnya, apabila kita
memakan daging dengan pisau, kita mungkin dapat melukai lidah kita. Pernyataan
tersebut membawa pada kesimpulan bahwa makan dengan pisau merupakan hal yang
tidak pantas. Boas menyatakan bahwa pembentukan kategori, linguistik atau
etnography yang secara tidak sadar terjadi merupakan fakta yang mendasar
kehidupan manusia. Penelitian mengenai kategroi linguistik merupakan hal yang
penting karena kategori tersebut dapat menggambarkan bangunan
budaya.
KONTEKS
Hakikat Konteks
Suatu bahasa dapat dipahami maknanya,
dengan memperhatikan konteks. Artinya, konteks sangat berperan dalam memahami
suatu bunyi atau tuturan. Dengan kata lain, pemahaman kita akan suatu makna
bahasa, tidak hanya didasarkan pada kata-kata yang diucapkan, tetapi konteks di
mana kata-kata itu muncul; selain aspek apa yang kita pikirkan tentang apa yang
akan dikomunikasikan pembicara. Hal ini berarti bahasa memiliki fungsi sebagai
alat komunikasi dalam berbagai konteks, baik komunikasi secara lisan maupun
tertulis. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian bahasa oleh masyarakat akademik
pada penulisan karya ilmiah sebagai bentuk komunikasi tulis dan dalam
memberikan materi di kelas, diskusi, pidato ilmiah sebagai bentuk komunikasi
lisan. Tuturan-tuturan tersebut memegang peran dalam interaksi antara penutur,
lawan tutur, dan partisipannya. Oleh karena itu, makna sebuah kalimat atau bahasa,
baik tersurat maupun tersirat, masing-masing dapat dimaknai berdasarkan siapa,
apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana tuturan itu di ucapkan dalam sebuah
percakapan atau wacana (Rohmandi, 2014: 43-44).
Hal tersebut ditegaskan oleh Rohmandi
(2014: 44) dalam pemilahannya terhadap konteks menjadi beberapa aspek, yaitu (1)
konteks yang berhubungan dengan pembicara dan pendengarnya; (2) konteks yang
berhubungan dengan tempat dan waktu; (3) konteks yang berhubungan dengan topik
pembicaraan; (4) konteks yang berhubungan dengan saluran yang digunakan.
Misalnya, tulisan, lisan, isyarat (kentongan), dan sebagainya; (5) konteks yang
berhubungan dengan kode yang digunakan dalam berkomunikasi; (6) konteks yang
berhubungan dengan bentuk pesan dan isinya; (7) konteks yang berhubungan dengan
peristiwa yang sifat-sifatnya yang khusus; dan (8) konteks yang berhubungan
dengan nada pembicaraan, seperti serius, sinis, sarkastik, rayuan, dll.
Konsep teori tersebut dipahami oleh M.A.K. Halliday dan
Ruqaiya Hasan (1985), sehingga mereka melahirkan teori teks dan konteks. Teori tersebut
dideskripsikan (dalam Rahardi, 2015) bahwa (1) Teks merupakan gagasan
metafungsional: kumpulan makna ideasional, makna interpersonal, dan makna
tekstual; (2) Konteks situasi merupakan susunan ciri-ciri
medan, pelibat, dan sarana yang menentukan register/jenis teks; (3) Konteks budaya merupakan latar belakang
kelembagaan dan ideologis yang memberi nilai pada teks dan mendayakan penafsirannya; (4) Konteks intertekstual menunjuk pada berbagai hubungan
dengan teks lain dan prakiraan-prakiraan yang ditetapkan; dan (5) Konteks intratekstual
menunjuk pada kohesi kebahasaan yang meliputi hubungan-hubungan semantik secara
internal.
Berbagai pemahaman mengenai konteks
tersebut disatukan oleh Dell Hymes (1974) (dalam Rahardi, 2015) dalam teorinya mengenai komponen tutur. Dell Hymes menguraikan
komponen tutur dalam konsep memoteknik/memonik SPEAKING, yakni (1) setting and scene (tempat/waktu dan suasana), (2) participants,
(3) Ends (tujuan), (4) Acts Sequence
(bentuk dan isi pesan), (5) Key (kunci, nada, cara, perasaan), (6) instrumentalities, (7) norms of
interaction and norms of intepretation,
(8) Genres (jenis wacana). Bahkan, teori tersebut dipertegas oleh Soepomo Poedjosoedarmo
(1985) dalam konsep mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan bahasa. Soepomo menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan bahasa, yaitu faktor OOEMAUBICARA yang diuraikan demikian: (1) O1= orang ke satu, (2) O2= orang ke-2), (3)
E= Warna emosi O1, (4) M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3, (6)
U= urutan tutur, (7) B = bab yang dipercakapkan/pokok pembicaraan, (8) I=
instrumen tutur, (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= Register
tutur/genre, (12) A= aturan atau norma kebahasaan. Teori mengenai konteks pun dimaknai
oleh Jon Blundell, Jonathan Higgens, dan Nigel Middlemiss (1982) bahwa penutur dalam tuturannya dan pendengar
dalam menanggapi tuturan perlu memperhatikan latar tuturan latar (the
setting), topik pembicaraan (the topic), hubungan sosial (the social relationship), dan suasana batin (the
psichological attitude).
Selain itu, Joan Cutting (2002) (dalam Rahardi, 2015) memberikan pemahamannya mengenai konsep konteks
bahwa konteks itu dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) konteks
situasional (the situational context),
(2) konteks latar belakang pengetahuan (the background knowledge context), (3)
konteks –kotekstual (co-textual context). Hal ini ditegaskan oleh Yule (2015: 190) bahwa
konteks Joan tersebut dapat dirincikan menjadi menjadi dua, yaitu konteks fisik
(konteks situasi dan latar belakang pengetahuan) dan konteks linguistik
(konteks-kotekstual). Konteks fisik yang dimaksudkan Yule adalah lokasi “di
luar sana” di mana kita menemukan kata-kata dan frasa. Misalnya, kata ‘bank’
pada dinding bangunan dipahami sebagai sebuah lembaga keuangan. Sementara itu,
konteks linguistik disebut co-teks. Co-teks dalam sebuah bahasa dipahami
sebagai rangkaian kata lain yang digunakan dalam frasa atau kalimat yang sama.
Misalnya, jika kata ‘bank’ digabungkan dengan kata-kata lain seperti steep atau overgrown, maka kita tidak akan bingung menentukan tipe bank mana
yang dimaksud. Atau, jika ada ungkapan get
to the bank to withdraw some cash, maka co-teks akan mengatakan pada kita
mengenai tipe bank mana yang dimaksud.
Konsep mengenai konteks-konteks tersebut
memiliki peran penting untuk memaknai suatu tuturan atau wacana, baik tekstual
maupun kontekstual. Berbagai konsep konteks di atas, sebenarnya lahir dan ada
dalam konteks situasi, konteks kultural atau budaya, dan konteks
sosial-sosietal. Hal ini dipandang Geoffrey N. Leech (1993) (dalam Rahardi, 2015) bahwa konteks tidak diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut
dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks dipahami sebagai suatu latar belakang
yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan yang membantu pesapa
menafsirkan makna tuturan.
Bahasa dan Konteks
Situasi dan Budaya
Konteks situasi diperkenalkan ke dalam bahasa oleh Bronislaw Malinowski (1882-1944), seorang antropolog Inggris yang banyak
melakukan penelitian dalam bidang kebudayaan penduduk di gugusan Pulau-pulau Pasifik Selatan, yakni kepulauan Trobriand. Penduduk Trobriand bermata pencaharian sebagai pemancing
dan pekebun. Bahasa penduduk Trobrian adalah Kiriwinia. Teks-teks etnografi hasil penelitiannya
dalam bahasa Kiriwinia ternyata tidak
dapat diterjemahkan kata per kata ke dalam bahasa Inggris, sehingga dia harus mengaitkannya dengan lingkungan, baik berupa lingkungan tutur verbal maupun lingkungan
tutur nonverbal. Dia menyebut hal ini sebagai konteks situasi (Kramsch, 2003: 25)
Konteks situasi dan budaya tidak hanya berarti situasi yang
sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi juga menyangkut keseluruhan latar
belakang budaya di mana peristiwa itu muncul. Malinowski menyatakan bahwa
“konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat
kebahasaan dan harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum
yang memayungi ketika bahasa itu dituturkan”. Sementara itu, J.R. Firth (1980-1960), kolega Malinowsky mengembangkan konteks situasi
yang digagas oleh Malinowsky, yaitu bahwa sebuah tuturan perlu memperhatikan
konteks (1) pelibat, (2) tindakan pelibat, (3) situasi
lainnya yang relevan, (4) dampak-dampak dari tindakan tutur. Bahkan, konsep ini ditegaskan oleh Geoffrey N. Leech
(1993) bahwa suatu konteks situasi perlu ada
aspek-aspek situasi tutur, antara lain (1) Penyapa (yang menyapa), (2) Pesapa
(yang disapa), (3) Konteks sebuah tuturan, (4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau tindak ujar, dan (5) Tuturan sebagai tindak
verbal (Rahardi, 2015).
Selain itu, Pateda (2010: 116-118) menjelaskan
bahwa makna kontekstual atau makna situasional muncul akibat hubungan antaa
ujaran dan konteks. Konteks yang dimaksud diwujudkan dalam banyak hal, yakni
1.
Konteks orangan
Konteks ini berkaitan dengan jenis kelamin, usia,kedudukan
atau latar belakang sosial pendengar. Pembicara dituntut untuk mencari kata
yang maknanya dapat dipahami oleh lawan bicaranya sesuai dengan usia, latar belakang
pendengar dan lain-lain. Misalnya, kata interprestasi tidak bisa dipahami oleh
anak SD seharusnya pembicara memilih kata lain untuk menggantikan kat
interpretasi.
2.
Konteks situasi
Di dalam konteks situasi pembicara diminta untuk
mencari kata yang maknanya sesuai dengan keadaan atau situasi. Misalnya sedang
dalam situasi kedukaan. Orang pasti akan mencari kata yang maknanya ikut
bersedih, kasihan. Tidak mungkin ada orang yang yang sedang berada di keadaan
duka mengatakan “Orang yang meninggl itu punya hutang dengan ku”.
3.
Konteks tujuan
Contoh kita melakukan pembicaraan ini misalnya utuk
meminta. Maka orang akan mencari kata yang memiliki kata meminta. Orang itu
sebaiknya berkata “saya minta roti”.
4.
Kontek formal atau tidaknya sebuah pembicaraan
Pembicara harus mencari kata yang bermakna sesuai
dengan keformalan sebiah pembicaraan. Misalnya kalimat “ usul mu ditolak “.
Dalam pembicaraan tidak fromal kaliat itu dapat diunakan namun dalam situasi
formal kalimat tersebt dapat diganti menjadi “usulan mu masih perlu
diperbaiki.”
5.
Konteks suasana hati
Dalam konteks ini suasana hati pembicara/ pendengar
turut empengaruhi kata yang berakibat pada makna. Suasana hati jengkel akan
mempengaruhi kata-kata yang bermakna jengkel pula.
6.
Konteks waktu
Konteks waktu misalnya ketika waktu akan tidur atau
istirahat jika ada seseorang sedang bertamu maka orang yang akan diajak
berbicara akan kesal.halitu mempengaruhi makna yang akan digunakannya.
7.
Konteks tempat
Konteks tempat misalnya di pasar, bioskop hal itu akan
mempengaruhi penggunaan kata ketika berkomunikasi. Di tempat-tempat seperti
itulah pembicara akan menggunakan kata yang bermakna biasa, berbeda ketika
pembicara berada suatu lingkungan tertentu kata yang dipakai pun akan berbeda.
8.
Konteks objek
Di dalam konteks objek ini pembicara mengacu pada
fokus pembicaraan. Apabila pembicaraan mengacu pada bidang ekonomi, prang akan
mencari kata yang sesuai dengan bidang tersebut.
9.
Konteks kelengkapan
Konteks kelengkapan ini berhubungan dengan alat
bicara/dengar yang turut mempengaruhi kata yang dihunakan. Misalnya ketika
orang yang tidak normal berbicara ketika mengtakan “ pensil saya tumpul”
menjadi “ pincil saya tumpu” akibatnya kawan bicara kita tidak mengerti apa
yang kita katakan.
10. Konteks kebahasaan
Konteks kebahasaan maksudnya hal-hal yang berhubungan
dengan kaidah kebahasaan. Misalnya dlam tulis menulis hal yang perlu
diperhatikan tanda baca, diksi. Namun ketika komunikasi lisan hal yang
perhatikan unsur suprasegmental.
Bahasa dan Konteks
Sosial-Sosietal
Seperti yang telah dipaparkan oleh
Malinowsky bahwa setiap kata yang orang ucapkan tidak dapat kita pahami atau
artikan dalam segi semantik saja, namun kita perlu mengartikannya berdasarkan
ilmu pragmatik. Parker (Rahardi, 2005: 49) mengatakan bahwa pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Menurutnya,
studi tata bahasa tidak memerlukan konteks dalam kajiannya sedangkan ilmu
pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Jadi studi tata bahasa dapat
dikatakan bebas konteks. Sebaliknya studi pemakaian tata bahasa dalam
komunikasi selalu dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan
mewadahinya. Konteks yang dimaksud mencakup dua macam, yaitu konteks sosial dan
sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari
munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan
budaya. Konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan
anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam
masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian dikatakan oleh pakar
bahwa konteks sosietal berkaitan dengan kekuasaaan dan konteks sosial berkaitan
dengan solidaritas.
PENUTUP
Fran Boas melahirkan Tradisi Boasian dalam bidang antropologi
linguistik. Ia meneliti tentang fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman
manusia, khususnya fungsi pengklasifikasian. Hal ini dikarenakan pengalaman
individual manusia bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem
dan kategori gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas
tadi harus dapat tercakup dalam setiap bahasa. Tentu, klasifikasi tersebut
sangat bervariasi dalam setiap bahasa, sehingga melahirkan relativitas bahasa.
Boas berpendapat bahwa bahasa
merupakan sarana pengekspresian pemikiran refleksi budaya manusia. Artinya, perbedaan
kategori gramatikal yang dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari
perbedaan kultur yang dimiliki oleh penuturnya. Dengan demikian, ia menggugurkan
pemikiran Humbold tentang versuch. Boas menegaskan bahwa setiap bahasa
hanya dapat mengekspresikan hasil reflekasi dari keragaman budaya yang dimiliki
oleh setiap masyarakat bahasa. Hal yang berkaitan dengan kesemestaan
linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah kesemestaan tersebut hanya merupakan
dampak dari kesatuan pandangan manusia terhadap suatu obyek.
Pemahaman Boas tersebut dan relativitas bahasa pun mengacu
pada konteks. Para filsuf mendeskripsikan konteks sebagai aspek yang
berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial suatu tuturan.
Konteks dipandang sebagai pengetahuan mengenai latar belakang yang dimiliki
oleh penutur dan mitra tutur, yakni konteks
situasi, konteks kultural, dan konteks sosial-sosietal.
DAFTAR PUSTAKA
Driven, R.Verspoor, M. 2001, Cognitieve Inleiding tot Taal en
Taalwetenschap. Uitgeverij Acco: Leuven
Foley,
William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets:
Blackwell Publishers.
Gumperz, John J. & Levinson, Stephen C. 1996. Rethinking
Linguistic Relativity.
Cambridge: Cambridge
University
Press
Halliday, M.A.K., 1978. Language as Social
Semiotic. The Social Interpretation of Language and
Meaning. Australia/USA.
Laclau, E. and Mouffe, C. 1985. Hegemony and Socialist Strategy. Towards a Radical
Democratic Politics. London: Verso.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahardi, R. Kunjana. 2015. “Teori Konteks”, PPT Bahan
Kuliah Antropolinguistik Program Pascasarjana PBSI. Yogyakarta: USD
Rohmandi, Muhamad, dkk. 2014. Belajar Bahasa Indonesia. Surakarta: Cakrawala Media
Sampson, Geoffrey. 1980. Schools
of Linguistics. Standford:
Stanfrod University Press.
Saussure, Ferdinand de.
1959. Course in General Linguistics (English
translation by Baskin, W.) New York, Toronto,
London: McGraw-Hill Book Company.
Slobin, Dan I. From "Thought and Language" to "Thinking
for Speaking." In Gumperz, John J. & Levinson,
Stephen C. Rethinking Linguistic Relativity.
Cambridge University Press.
Van Dijk, T.A., 2009, Society and Discourse. How Social Contexts
Influence Text and Talk, Cambridge University Press, UK.
Wetherell, M. 2005. Discourse Theory and Practice: A Reader, Sage Publication Ltd., London.
Yule, George. 2015. Kajian Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar