Selasa, 26 November 2019

RELATIVITAS BAHASA


TRADISI BOASIAN, RELATIVITAS BAHASA, DAN KONTEKS


Abstrak
Tradisi Boasian diprakarsai oleh Frans Boas dalam bidang antropologi linguistik. Tradisi ini kerap diasosiasikan dengan prinsip relativitas linguistik, yaitu ide yang berkaitan dengan perbedaan kerangka lingustik yang dimiliki oleh penutur dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk merujuk pada referen-referen yang ada dalam pengalaman hidup sehari-hari. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari aspek prinsip gramatikal dalam setiap bahasa. Relativitas bahasa pun mengacu pada latar yang disebut konteks. Para filsuf mendeskripsikan konteks sebagai aspek yang berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial suatu tuturan. Konteks dipandang sebagai pengetahuan mengenai latar belakang yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, yakni konteks situasi, konteks kultural, dan konteks sosial-sosietal.
         
Kata Kunci : Tradisi, Boasian, Relativitas Bahasa, dan Konteks

PENDAHULUAN
Relativitas bahasa (linguistic relativity) merupakan suatu ide atau pandangan yang berkaitan dengan perbedaan bahasa yang dimiliki oleh para penutur bahasa yang merujuk pada pengalaman hidup sehari-hari. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari struktur dan sistem gramatikal yang berbeda dalam setiap bahasa. Hal ini berarti konsep relativitas bahasa bukan merupakan ide baru dalam bidang linguistik. Bahkan, zaman sekarang relativitas bahasa mendapat perhatian dalam bidang sosiolinguistik, pragmatik, dan terutama antropolinguistik.
Relativitas bahasa berawal dari pemikiran para para ahli abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Eropa. Misalnya, Wilhelm von Humboldt (1767-1835) yang sering dirujuk sebagai bapak relativitas bahasa berpendapat bahwa adanya hubungan erat antara masyarakat, bahasa, dan budaya, sehingga pada tahap ideal, hubungan tersebut dipandang sebagai tritunggal, yaitu satu masyarakat, satu bahasa, dan satu budaya (Gumperz, 1996: 362). Humboldt memandang bahasa sebagai alat berpikir, sekaligus berpengaruh terhadap pola pikir setiap orang, sehingga berdampak pada konsep bahwa setiap bahasa itu berbeda dengan bahasa lainnya. Hal ini berarti Humboldt menghadirkan kata kunci sebagai titik pijak pemikirannya, yaitu pikiran dan bahasa. Ia ingin menegaskan bahwa sturktur suatu bahasa sangat berpengaruh terhadap perkembangan pola pikir seseorang dan setiap bahasa memiliki pandangan yang khas. Secara umum Humboldt memandang bahwa manusia selalu berhadapan dengan realitas kehidupan di luar dirinya. Namun, realitas itu hadir dan muncul dalam pikirannya melalui medium bahasa yang khas. Karena itu, pandangan seseorang dan masyarakat ditentukan oleh bahasa pertama mereka (Slobin 1996: 70). Dengan demikian, pandangan Humboldt mengenai relativitas bahasa, yakni secara mutlak pola pikir penuturnya menentukan suatu bahasa.
Pembicaraan tentang relativitas bahas, tidak bisa dilepaspisahkan dengan tradisi Boasian (Boasian Tradition). Tradisi ini lahir di Amerika Serikat, setelah Franz Boas (1858-1942) melakukan penelitian atas bahasa Indian-Amerika dan melahirkan konsep linguistik deskriptif. Awalnya, Boas menekuni ilmu fisika dan geografi. Namun, ia tertarik dengan antropologi, sehingga penelitiannya tentang bahasa diwarnai dengan pendekatan antropologi. Dengan demikian, Boas selalu melihat hubungan yang erat antara bahasa dan budaya. Hal ini tentu berbeda dengan de Saussure yang menganalisis bahasa Perancis dan bahasa-bahasa eropa lainnya hingga berhasil membangun teori linguistik dengan abstraksi tinggi. Sementara itu, Boas bergelut dengan bahasa-bahasa Indian yang eksotik dan tidak dikenal untuk menghasilkan deskripsi yang tuntas. Hal ini berarti setiap bahasa memiliki deskripsi yang khas, karena setiap bahasa memiliki struktur yang unik. Perjuangan Boas mengenai bahasa ini di tegaskan oleh Sampson (1980: 59), demikian:
A characteristic of the school founded by Boas was its relativism.  There was no ideal type of language, to which actual languages approximated more or less closely; human languages were endelessly diverse.

Artinya, Boas ingin menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang memiliki tipe ideal, yang dapat dijadikan model bagi bahasa-bahasa alamiah yang ada. Hasil deskripsi atas data lapangannya, Boas ingin menunjukkan bahwa bahasa-bahasa masyarakat Indian-Amerika sangat berbeda satu sama lain. Artinya, relativitas bahasa begitu mutlak hadir, sehingga tidak ada ruang bagi universalitas bahasa. Hal yang penting dari pemikiran Boas bahwa bahasa bukan sarana untuk membangun teori linguistik. Sebaliknya, deskripsinya mengenai bahasa merupakan tujuan akhir dari analisis sebuah bahasa, meskipun sangat mungkin ia merupakan langkah awal untuk memahami budaya suatu masyarakat secara mendalam.
Artinya, selain bahasa mengalami pergeseran atau perubahan akibat perkembangan zaman, perkembangan pola pikir dan budaya yang beraneka ragam sangat mempengaruhi keberadaan bahasa. Zaman dahulu, orang-rang primitif hanya memiliki satu nama pada suatu benda atau obyek dan hanya digunakan oleh kalangan mereka, tanpa dipengaruhi atau menjadi pembela di luar wilayah mereka. Namun, perkembangan zaman menghadirkan berbagai fenomena yang biasa terjadi pada masyarakat sosial. Fenomena kesalahpahaman dalam berkomunikasi menjadi akibat dari kesalahan penafsiran terhadap suatu bahasa. Oleh sebab itu, konsep mengenai konteks perlu dipahami oleh setiap orang lebih mendalam.

RELATIVITAS BAHASA DAN TRADISI BOASIAN
Tradisi Boas dalam antropolinguisti kerap diasosiasikan dengan prinsip relativitas linguistik; suatu ide yang berkenaan dengan perbedaan kerangka lingustik yang dimiliki oleh para penutur bahasa dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk merujuk pada referen-referen dalam pengalaman hidup sehari-hari. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari struktur dan sistem kategori gramatikal yang berbeda pula dalam setiap bahasa.
Pemikiran Franz Boas sangat dipengaruhi oleh para pelopor relativisme dari Jerman. Salah satu pemikir yang memengaruhi pemikiran Boas adalah Johann Herder. Herder percaya bahwa relasi antara kognisi (pikiran) dan bahasa, bersifat saling bergantung dan mutlak. Kognisi manusia terbatas dan termediasi oleh bahasanya. Selanjutnya, Herder menyatakan bahwa pengalaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari berbeda dengan realitas bahasa yang mewakili pengalaman dan pemahaman tersebut. Dengan kata lain, setiap bahasa dan budaya merefleksikan dunia dengan cara tertentu, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya (Foley, 1997: 193).
Pemikiran Herder dikembangkan oleh Wilhem von Humboldt, yang menggabungkan prinsip kesemestaan dan relativisme. Selanjutnya ia berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah kerangka kognisi, yang menimbulkan pengaturan keseluruhan sensasi yang dihadirkan ke dalam indera manusia. Sama seperti Herder, Humboldt percaya bahwa kualitas mental suatu masyarakat dan budayanya menentukan bahasanya. Oleh karena itu, bahasa menentukan cara berpikir suatu masyarakat dan juga cara mereka untuk mengekspresikan realitas. Walaupun demikian, Humbold juga meyakini bahwa semua bahasa mempunyai kesemestaan properti. Artinya, setiap bahasa pasti memiliki nosi-nosi gramatikal yang sifatnya universal, seperti kelas kata, kasus, modalitas, dst. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, apabila suatu bahasa memiliki  keterbatasan dalam fitur-fitur tersebut di atas, bahasa itu tentu akan memilki cara untuk memasukkan konsep yang sifatnya universal itu ke dalam struktur gramatikalnya. Dengan demikian, setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada (istilah Humboldt untuk hal ini adalah Versuch) (Foley, 1997: 194).
Sementara itu, Boas menitikberatkan penelitiannya mengenai fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman manusia, khususnya fungsi pengklasifikasian. Hal ini dikarenakan pengalaman individual manusia bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem dan kategori gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas tadi harus dapat tercakup dalam setiap bahasa. Tentu, klasifikasi tersebut sangat bervariasi dalam setiap bahasa. Misalnya, verba konsumsi dalam bahasa Inggris dapat diklasifikasikan dalam berbagai leksem, seperti eat ‘makan’, drink ‘minum’, dan smoke ‘merokok’, sedangkan dalam bahasa Yimas, ketiga leksem tadi hanya diwakili oleh root  atau akar am-. dari contoh di atas dapat dilihat bahwa Boas menekankan studinya pada keberagaman kategori gramatikal lintas bahasa, terutama dengan cara mengontraskan kategori gramatikal bahasa. Contoh lain yang dapat dilihat adalah perbedaan yang terdapat di antara bahasa Inggris dan bahasa asli Amerika, Kwak’wala. Kategori gramatikal yang umum digunakan dalam bahasa Inggris adalah katakrifan, bilangan, kala, dan lain-lain. Kategori tersebut berbeda dengan bahasa Kwak’wala yang menggunakan visibilitas dan deiksis. Melalui pengontrasan bahasa seperti tadi, Boas mengembangkan pemikiran Humboldt, yaitu versuch, yang berkenaan dengan sifat bahasa yang hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada (Foley, 1997: 194). Variasi linguistik, seperti yang dapat dilihat pada contoh, menandakan bahwa setiap bahasa memiliki tendensi untuk memilih hanya beberapa konsep, yang sifatnya individual, dari keseluruhan konsep untuk diekspresikan melalui elemen-elemennya. Dengan kata lain, relasi antara bahasa dan pikiran bersifat searah; kategori linguistik dapat mengekspresikan (paling tidak sebagian) pemikiran, tapi tidak berlaku sebaliknya, kategori linguistik tidak menentukan pemikiran.
Lebih lanjut, Boas meyakini bahwa ukuran kemampuan individual manusia tidak beragam sifatnya di seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan kategori linguistik antarbahasa, yang bisa terlihat jelas, tidak merefleksikan perbedaan kognisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat penuturnya, melainkan hanya refleksi dari perbedaan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Agar lebih jelas, kita dapat melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat Papua, yang hanya memiliki tiga leksem untuk menyatakan tiga bilangan dasar. Fenomena tersebut tidak merefleksikan hal apapun yang berkaitan dengan kemampuan kognitif masyarakat Papua. Fenomena tersebut hanya merefleksikan budaya masyarakat Papua, yang tidak membutuhkan bilangan yang lebih besar dari tiga untuk menghitung obyek atau benda dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bahasa merupakan sarana pengekspresian pemikiran manusia. Artinya, perbedaan kategori gramatikal yang dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari perbedaan kultur yang dimiliki oleh penuturnya. Pemikiran Boas ini secara tidak langsung telah menggugurkan pemikiran versuch yang diusung Humboldt. Artinya, Boas menolak pernyataan Humboldt bahwa setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada; karena keterbatasan kategori gramatikal tidak menandakan adanya keterbatasan kognisi, tetapi hanya merupakan refleksi dari keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat bahasa. Hal yang berkaitan dengan kesemestaan linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah kesemestaan tersebut hanya merupakan dampak dari kesatuan pandangan manusia terhadap suatu obyek.
Hal penting lainnya yang dikemukakan oleh Boas adalah bahwa klasifikasi linguistik yang dilakukan manusia tersebut merupakan tindakan yang dilakukan secara tidak sadar dan beragam, bergantung pada budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa.  Boas mengaitkan pernyataan tersebut dengan keragaman table manner antarbudaya. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya terdapat alasan rasional yang terbentuk secara tidak sadar dalam kebudayaan mengenai kaidah tersebut. Misalnya, apabila kita memakan daging dengan pisau, kita mungkin dapat melukai lidah kita. Pernyataan tersebut membawa pada kesimpulan bahwa makan dengan pisau merupakan hal yang tidak pantas. Boas menyatakan bahwa pembentukan kategori, linguistik atau etnography yang secara tidak sadar terjadi merupakan fakta yang mendasar kehidupan manusia. Penelitian mengenai kategroi linguistik merupakan hal yang penting karena kategori tersebut dapat menggambarkan bangunan budaya.     

KONTEKS
Hakikat Konteks
Suatu bahasa dapat dipahami maknanya, dengan memperhatikan konteks. Artinya, konteks sangat berperan dalam memahami suatu bunyi atau tuturan. Dengan kata lain, pemahaman kita akan suatu makna bahasa, tidak hanya didasarkan pada kata-kata yang diucapkan, tetapi konteks di mana kata-kata itu muncul; selain aspek apa yang kita pikirkan tentang apa yang akan dikomunikasikan pembicara. Hal ini berarti bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi dalam berbagai konteks, baik komunikasi secara lisan maupun tertulis. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian bahasa oleh masyarakat akademik pada penulisan karya ilmiah sebagai bentuk komunikasi tulis dan dalam memberikan materi di kelas, diskusi, pidato ilmiah sebagai bentuk komunikasi lisan. Tuturan-tuturan tersebut memegang peran dalam interaksi antara penutur, lawan tutur, dan partisipannya. Oleh karena itu, makna sebuah kalimat atau bahasa, baik tersurat maupun tersirat, masing-masing dapat dimaknai berdasarkan siapa, apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana tuturan itu di ucapkan dalam sebuah percakapan atau wacana (Rohmandi, 2014: 43-44).
Hal tersebut ditegaskan oleh Rohmandi (2014: 44) dalam pemilahannya terhadap konteks menjadi beberapa aspek, yaitu (1) konteks yang berhubungan dengan pembicara dan pendengarnya; (2) konteks yang berhubungan dengan tempat dan waktu; (3) konteks yang berhubungan dengan topik pembicaraan; (4) konteks yang berhubungan dengan saluran yang digunakan. Misalnya, tulisan, lisan, isyarat (kentongan), dan sebagainya; (5) konteks yang berhubungan dengan kode yang digunakan dalam berkomunikasi; (6) konteks yang berhubungan dengan bentuk pesan dan isinya; (7) konteks yang berhubungan dengan peristiwa yang sifat-sifatnya yang khusus; dan (8) konteks yang berhubungan dengan nada pembicaraan, seperti serius, sinis, sarkastik, rayuan, dll.
Konsep teori tersebut dipahami oleh M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan (1985), sehingga mereka melahirkan teori teks dan konteks. Teori tersebut dideskripsikan (dalam Rahardi, 2015) bahwa (1) Teks merupakan gagasan metafungsional: kumpulan makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual; (2) Konteks situasi merupakan susunan ciri-ciri medan, pelibat, dan sarana yang menentukan register/jenis teks; (3) Konteks budaya merupakan latar belakang kelembagaan dan ideologis yang memberi nilai pada teks  dan mendayakan penafsirannya; (4) Konteks intertekstual menunjuk pada berbagai hubungan dengan teks lain dan prakiraan-prakiraan yang ditetapkan; dan (5) Konteks intratekstual menunjuk pada kohesi kebahasaan yang meliputi hubungan-hubungan semantik secara internal.
Berbagai pemahaman mengenai konteks tersebut disatukan oleh Dell Hymes (1974) (dalam Rahardi, 2015) dalam teorinya mengenai komponen tutur. Dell Hymes menguraikan komponen tutur dalam konsep memoteknik/memonik SPEAKING, yakni (1) setting and scene  (tempat/waktu dan suasana), (2) participants, (3) Ends (tujuan), (4) Acts  Sequence (bentuk dan isi pesan), (5) Key (kunci, nada, cara, perasaan),  (6) instrumentalities, (7) norms of interaction  and norms of intepretation, (8) Genres  (jenis wacana). Bahkan, teori tersebut dipertegas oleh Soepomo Poedjosoedarmo (1985) dalam konsep mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Soepomo menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa, yaitu faktor OOEMAUBICARA yang diuraikan demikian: (1) O1= orang ke satu, (2) O2= orang ke-2), (3) E= Warna emosi O1, (4) M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3, (6) U= urutan tutur, (7) B = bab yang dipercakapkan/pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur, (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= Register tutur/genre, (12) A= aturan atau norma kebahasaan. Teori mengenai konteks pun dimaknai oleh Jon Blundell, Jonathan Higgens, dan Nigel Middlemiss (1982) bahwa penutur dalam tuturannya dan pendengar dalam menanggapi tuturan perlu memperhatikan latar tuturan  latar (the setting), topik pembicaraan (the topic), hubungan sosial (the social relationship), dan suasana batin (the psichological attitude).
Selain itu, Joan Cutting (2002) (dalam Rahardi, 2015) memberikan pemahamannya mengenai konsep konteks bahwa konteks itu dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) konteks situasional (the situational context), (2) konteks latar belakang pengetahuan (the background knowledge context), (3) konteks –kotekstual (co-textual context). Hal ini ditegaskan oleh Yule (2015: 190) bahwa konteks Joan tersebut dapat dirincikan menjadi menjadi dua, yaitu konteks fisik (konteks situasi dan latar belakang pengetahuan) dan konteks linguistik (konteks-kotekstual). Konteks fisik yang dimaksudkan Yule adalah lokasi “di luar sana” di mana kita menemukan kata-kata dan frasa. Misalnya, kata ‘bank’ pada dinding bangunan dipahami sebagai sebuah lembaga keuangan. Sementara itu, konteks linguistik disebut co-teks. Co-teks dalam sebuah bahasa dipahami sebagai rangkaian kata lain yang digunakan dalam frasa atau kalimat yang sama. Misalnya, jika kata ‘bank’ digabungkan dengan kata-kata lain seperti steep atau overgrown, maka kita tidak akan bingung menentukan tipe bank mana yang dimaksud. Atau, jika ada ungkapan get to the bank to withdraw some cash, maka co-teks akan mengatakan pada kita mengenai tipe bank mana yang dimaksud.
Konsep mengenai konteks-konteks tersebut memiliki peran penting untuk memaknai suatu tuturan atau wacana, baik tekstual maupun kontekstual. Berbagai konsep konteks di atas, sebenarnya lahir dan ada dalam konteks situasi, konteks kultural atau budaya, dan konteks sosial-sosietal. Hal ini dipandang Geoffrey N. Leech (1993) (dalam Rahardi, 2015) bahwa konteks tidak diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks dipahami sebagai suatu latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penyapa dan pesapa dan yang membantu pesapa menafsirkan makna tuturan.

Bahasa dan Konteks Situasi dan Budaya
Konteks situasi diperkenalkan ke dalam bahasa oleh Bronislaw Malinowski (1882-1944), seorang antropolog Inggris yang banyak melakukan penelitian dalam bidang kebudayaan penduduk di gugusan Pulau-pulau Pasifik Selatan, yakni kepulauan Trobriand. Penduduk Trobriand bermata pencaharian sebagai pemancing dan pekebun. Bahasa penduduk Trobrian adalah Kiriwinia. Teks-teks etnografi hasil penelitiannya dalam  bahasa Kiriwinia ternyata tidak dapat diterjemahkan kata per kata ke dalam bahasa Inggris, sehingga dia harus mengaitkannya dengan lingkungan, baik berupa lingkungan tutur verbal maupun lingkungan tutur nonverbal. Dia menyebut hal ini sebagai konteks situasi (Kramsch, 2003: 25)
Konteks situasi dan budaya tidak hanya berarti situasi yang sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi juga menyangkut keseluruhan latar belakang budaya di mana peristiwa itu muncul. Malinowski menyatakan bahwa “konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi-kondisi umum yang memayungi ketika bahasa itu dituturkan”. Sementara itu, J.R. Firth (1980-1960), kolega Malinowsky mengembangkan konteks situasi yang digagas oleh Malinowsky, yaitu bahwa sebuah tuturan perlu memperhatikan konteks (1) pelibat, (2) tindakan pelibat, (3) situasi lainnya yang relevan, (4) dampak-dampak dari tindakan  tutur. Bahkan, konsep ini ditegaskan oleh Geoffrey N. Leech (1993) bahwa suatu konteks situasi perlu ada aspek-aspek situasi tutur, antara lain (1) Penyapa (yang menyapa), (2) Pesapa  (yang disapa), (3) Konteks sebuah tuturan, (4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau tindak ujar, dan (5) Tuturan sebagai tindak verbal (Rahardi, 2015).
Selain itu, Pateda (2010: 116-118) menjelaskan bahwa makna kontekstual atau makna situasional muncul akibat hubungan antaa ujaran dan konteks. Konteks yang dimaksud diwujudkan dalam banyak hal, yakni
1.                  Konteks orangan
Konteks ini berkaitan dengan jenis kelamin, usia,kedudukan atau latar belakang sosial pendengar. Pembicara dituntut untuk mencari kata yang maknanya dapat dipahami oleh lawan bicaranya sesuai dengan usia, latar belakang pendengar dan lain-lain. Misalnya, kata interprestasi tidak bisa dipahami oleh anak SD seharusnya pembicara memilih kata lain untuk menggantikan kat interpretasi.
2.      Konteks situasi
Di dalam konteks situasi pembicara diminta untuk mencari kata yang maknanya sesuai dengan keadaan atau situasi. Misalnya sedang dalam situasi kedukaan. Orang pasti akan mencari kata yang maknanya ikut bersedih, kasihan. Tidak mungkin ada orang yang yang sedang berada di keadaan duka mengatakan “Orang yang meninggl itu punya hutang dengan ku”.
3.      Konteks tujuan
Contoh kita melakukan pembicaraan ini misalnya utuk meminta. Maka orang akan mencari kata yang memiliki kata meminta. Orang itu sebaiknya berkata “saya minta roti”.
4.      Kontek formal atau tidaknya sebuah pembicaraan
Pembicara harus mencari kata yang bermakna sesuai dengan keformalan sebiah pembicaraan. Misalnya kalimat “ usul mu ditolak “. Dalam pembicaraan tidak fromal kaliat itu dapat diunakan namun dalam situasi formal kalimat tersebt dapat diganti menjadi “usulan mu masih perlu diperbaiki.”
5.      Konteks suasana hati
Dalam konteks ini suasana hati pembicara/ pendengar turut empengaruhi kata yang berakibat pada makna. Suasana hati jengkel akan mempengaruhi kata-kata yang bermakna jengkel pula.
6.      Konteks waktu
Konteks waktu misalnya ketika waktu akan tidur atau istirahat jika ada seseorang sedang bertamu maka orang yang akan diajak berbicara akan kesal.halitu mempengaruhi makna yang akan digunakannya.
7.      Konteks tempat
Konteks tempat misalnya di pasar, bioskop hal itu akan mempengaruhi penggunaan kata ketika berkomunikasi. Di tempat-tempat seperti itulah pembicara akan menggunakan kata yang bermakna biasa, berbeda ketika pembicara berada suatu lingkungan tertentu kata yang dipakai pun akan berbeda.
8.      Konteks objek
Di dalam konteks objek ini pembicara mengacu pada fokus pembicaraan. Apabila pembicaraan mengacu pada bidang ekonomi, prang akan mencari kata yang sesuai dengan bidang tersebut.
9.      Konteks kelengkapan
Konteks kelengkapan ini berhubungan dengan alat bicara/dengar yang turut mempengaruhi kata yang dihunakan. Misalnya ketika orang yang tidak normal berbicara ketika mengtakan “ pensil saya tumpul” menjadi “ pincil saya tumpu” akibatnya kawan bicara kita tidak mengerti apa yang kita katakan.
10.  Konteks kebahasaan
Konteks kebahasaan maksudnya hal-hal yang berhubungan dengan kaidah kebahasaan. Misalnya dlam tulis menulis hal yang perlu diperhatikan tanda baca, diksi. Namun ketika komunikasi lisan hal yang perhatikan unsur suprasegmental.



Bahasa dan Konteks Sosial-Sosietal
Seperti yang telah dipaparkan oleh Malinowsky bahwa setiap kata yang orang ucapkan tidak dapat kita pahami atau artikan dalam segi semantik saja, namun kita perlu mengartikannya berdasarkan ilmu pragmatik. Parker (Rahardi, 2005: 49) mengatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Menurutnya, studi tata bahasa tidak memerlukan konteks dalam kajiannya sedangkan ilmu pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Jadi studi tata bahasa dapat dikatakan bebas konteks. Sebaliknya studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi selalu dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Konteks yang dimaksud mencakup dua macam, yaitu konteks sosial dan sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya. Konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian dikatakan oleh pakar bahwa konteks sosietal berkaitan dengan kekuasaaan dan konteks sosial berkaitan dengan solidaritas.

PENUTUP
Fran Boas melahirkan Tradisi Boasian dalam bidang antropologi linguistik. Ia meneliti tentang fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman manusia, khususnya fungsi pengklasifikasian. Hal ini dikarenakan pengalaman individual manusia bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem dan kategori gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas tadi harus dapat tercakup dalam setiap bahasa. Tentu, klasifikasi tersebut sangat bervariasi dalam setiap bahasa, sehingga melahirkan relativitas bahasa.
Boas berpendapat bahwa bahasa merupakan sarana pengekspresian pemikiran refleksi budaya manusia. Artinya, perbedaan kategori gramatikal yang dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari perbedaan kultur yang dimiliki oleh penuturnya. Dengan demikian, ia menggugurkan pemikiran Humbold tentang versuch. Boas menegaskan bahwa setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan hasil reflekasi dari keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat bahasa. Hal yang berkaitan dengan kesemestaan linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah kesemestaan tersebut hanya merupakan dampak dari kesatuan pandangan manusia terhadap suatu obyek.
Pemahaman Boas tersebut dan relativitas bahasa pun mengacu pada konteks. Para filsuf mendeskripsikan konteks sebagai aspek yang berhubungan erat dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial suatu tuturan. Konteks dipandang sebagai pengetahuan mengenai latar belakang yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, yakni konteks situasi, konteks kultural, dan konteks sosial-sosietal.


DAFTAR PUSTAKA

Driven, R.Verspoor, M. 2001, Cognitieve Inleiding tot Taal en Taalwetenschap. Uitgeverij  Acco: Leuven

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers.

Gumperz, John J. & Levinson, Stephen C. 1996. Rethinking Linguistic Relativity. Cambridge: Cambridge University Press

Halliday, M.A.K., 1978. Language as Social Semiotic. The Social Interpretation of Language   and  Meaning. Australia/USA.

Laclau, E. and Mouffe, C. 1985. Hegemony and Socialist Strategy. Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso.

Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahardi, R. Kunjana. 2015. “Teori Konteks”, PPT Bahan Kuliah Antropolinguistik Program Pascasarjana PBSI. Yogyakarta: USD

Rohmandi, Muhamad, dkk. 2014. Belajar Bahasa Indonesia. Surakarta: Cakrawala Media

Sampson, Geoffrey.  1980. Schools of Linguistics. Standford: Stanfrod University Press.

Saussure, Ferdinand de.  1959.  Course in General Linguistics (English translation by Baskin, W.)  New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.

Slobin, Dan I. From "Thought and Language" to "Thinking for Speaking."  In Gumperz, John J. & Levinson, Stephen C.  Rethinking Linguistic Relativity. Cambridge University Press.

Van Dijk, T.A., 2009, Society and Discourse. How Social Contexts Influence Text and Talk, Cambridge University Press, UK.

Wetherell, M. 2005. Discourse Theory and Practice: A Reader, Sage Publication Ltd., London.

Yule, George. 2015. Kajian Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAHASA PETUNJUK PEMAKAIAN PRODUK BERDASAR KAJIAN PRAGMATIK MAKSIM KUANTITAS

BAHASA PETUNJUK PEMAKAIAN PRODUK   BERDASAR KAJIAN PRAGMATIK MAKSIM KUANTITAS A.     PENDAHULUAN  Latar Belakang Pragmatik mer...